Syarat Umrah dalam Perspektif Fikih Klasik

Kategori : Manasik, Ditulis pada : 01 Juli 2024, 06:14:19

logo king salman-07.png

Syarat Umrah dalam Perspektif Fikih Klasik: Tinjauan terhadap Dalil dan Pendapat Ulama

Abstrak

Umrah merupakan salah satu bentuk ibadah mahdhah dalam Islam yang memiliki keutamaan tersendiri dan menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah SWT. Dalam pelaksanaannya, umrah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dinilai sah dan diterima. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji syarat-syarat umrah berdasarkan dalil-dalil syariat yang terdapat dalam Al-Qur’an, hadis Nabi ﷺ, serta pendapat para ulama dalam kitab-kitab fikih klasik (mu’tabar). Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan studi pustaka terhadap literatur fikih dari empat mazhab besar. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat enam syarat utama yang menjadi dasar sahnya pelaksanaan ibadah umrah. Pemahaman terhadap syarat ini penting bagi pelaksanaan ibadah umrah yang tertib, sah, dan berkualitas secara spiritual dan syar’i.

Kata kunci: Umrah, syarat sah, fikih klasik, Al-Qur’an, hadis, ulama


1. Pendahuluan

Ibadah umrah merupakan salah satu bentuk ibadah yang disyariatkan dalam Islam dan memiliki banyak keutamaan. Meskipun berbeda dengan ibadah haji dalam hal waktu dan kewajibannya, umrah tetap menjadi bagian dari rukun ibadah yang memiliki landasan kuat dalam Al-Qur’an dan hadis. Menurut mayoritas ulama, umrah hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi setiap Muslim yang mampu, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

Pelaksanaan ibadah ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, karena terdapat ketentuan syariat yang mengikat, salah satunya adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaksananya. Dalam fikih, syarat adalah sesuatu yang harus ada sebelum pelaksanaan ibadah agar ibadah tersebut sah dan bernilai. Artikel ini mengkaji syarat-syarat umrah dengan merujuk pada dalil-dalil syar’i dan pendapat para ulama dalam kitab-kitab fikih klasik yang dijadikan rujukan dalam studi Islam.


2. Kajian Pustaka

Kajian terhadap syarat-syarat umrah telah banyak dikemukakan dalam literatur fikih klasik seperti Al-Majmu’ karya Imam Nawawi, Al-Umm karya Imam Syafi’i, Bada’i as-Sana’i karya Al-Kasani, dan Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Dalam kajian fikih, pembahasan mengenai umrah umumnya diletakkan dalam bab yang sama dengan ibadah haji, karena kesamaan dalam prinsip dan rangkaian manasik.

Imam Nawawi (w. 676 H) dalam Al-Majmu’ menyebutkan bahwa umrah adalah wajib sekali seumur hidup bagi setiap Muslim yang mampu. Sementara itu, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa umrah adalah sunnah muakkadah. Pendapat mayoritas ulama menjadikan ayat Al-Baqarah ayat 196 sebagai dalil utama kewajiban umrah, didukung oleh sejumlah hadis yang menguatkan kedudukannya dalam hukum Islam.


3. Pembahasan

3.1 Dalil Disyariatkannya Umrah

Umrah diperintahkan dalam Al-Qur’an sebagaimana dalam firman Allah SWT:

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS. Al-Baqarah: 196)

Tafsir Ibnu Katsir dan para ulama lainnya mengisyaratkan bahwa perintah dalam ayat ini mengandung makna wajib. Pendapat ini diperkuat oleh hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ, di antaranya:

“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa di antara keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Umrah itu wajib sebagaimana haji wajib.” (HR. Tirmidzi no. 931; dinilai hasan sahih oleh al-Albani)

Hadis-hadis tersebut memperlihatkan bahwa umrah memiliki posisi penting dalam ibadah umat Islam, baik sebagai pelengkap maupun sebagai sarana penghapus dosa.

3.2 Syarat-Syarat Umrah

Dalam fikih klasik, disepakati bahwa ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya pelaksanaan umrah. Berikut penjelasan enam syarat utama tersebut:

Pertama, syarat Islam. Umrah hanya sah dilakukan oleh seorang Muslim. Non-Muslim tidak dibebani hukum syariat dalam pelaksanaan ibadah mahdhah, termasuk umrah. Al-Kasani dalam Bada’i as-Sana’i menegaskan bahwa ibadah hanya berlaku bagi Muslim yang beriman.

Kedua, berakal. Umrah tidak diwajibkan atas orang yang tidak memiliki akal, seperti orang gila atau orang yang tidak sadar. Hal ini berdasarkan hadis Nabi ﷺ:
“Diangkat pena dari tiga orang: dari anak kecil sampai ia baligh, dari orang tidur sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR. Abu Dawud no. 4401)

Ketiga, baligh. Meskipun anak-anak boleh melaksanakan umrah, namun tidak menggugurkan kewajiban saat ia telah baligh. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa umrah anak kecil sah, namun harus diulang setelah baligh untuk memenuhi kewajiban.

Keempat, merdeka. Dalam konteks fikih klasik, seseorang yang masih berstatus budak tidak dibebani kewajiban haji dan umrah karena tidak memiliki otoritas penuh atas dirinya. Imam Syafi’i menyatakan dalam Al-Umm bahwa umrah menjadi wajib setelah seseorang merdeka.

Kelima, mampu. Kemampuan (istitha’ah) mencakup fisik, biaya, dan keamanan perjalanan. Hal ini bersumber dari ayat:
“Dan (diwajibkan) bagi manusia ke Baitullah—yakni bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (QS. Ali ‘Imran: 97)

Keenam, bagi perempuan terdapat syarat tambahan yaitu harus didampingi oleh mahram atau rombongan yang aman. Berdasarkan hadis Nabi ﷺ:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. Muslim no. 1341)

Namun sebagian ulama, seperti Imam Nawawi, menyebutkan dalam Al-Majmu’ bahwa jika seorang perempuan bersama rombongan aman dan terpercaya, maka diperbolehkan melakukan perjalanan umrah.


4. Kesimpulan

Berdasarkan kajian terhadap Al-Qur’an, hadis Nabi ﷺ, dan pendapat ulama dalam kitab-kitab fikih klasik, maka dapat disimpulkan bahwa ibadah umrah memiliki syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi agar ibadahnya sah dan diterima. Syarat-syarat tersebut bersifat prinsip dan tidak dapat ditinggalkan, karena menyangkut keabsahan dan kekhusyukan dalam pelaksanaan ibadah mahdhah.

Rangkuman Syarat Umrah:

  1. Islam – Hanya sah bagi pemeluk agama Islam.

  2. Berakal – Tidak diwajibkan bagi yang tidak berakal.

  3. Baligh – Kewajiban berlaku setelah dewasa secara syar’i.

  4. Merdeka – Kebebasan penuh menjadi syarat pelaksanaan kewajiban.

  5. Mampu (istitha’ah) – Meliputi aspek fisik, finansial, dan keamanan.

  6. Mahram bagi wanita – Wanita wajib disertai mahram atau dalam rombongan aman.

Dengan memahami dan memenuhi syarat-syarat ini, seorang Muslim dapat melaksanakan ibadah umrah secara sah, tertib, dan penuh makna spiritual sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dan dijelaskan oleh para ulama. Kajian ini diharapkan dapat memberikan wawasan keilmuan serta landasan hukum bagi umat Islam dalam menunaikan ibadah umrah dengan pemahaman yang benar.

Cari Blog

10 Blog Terbaru

10 Blog Terpopuler

Kategori Blog

Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id