Hukum Fiqih Berutang untuk Biaya Haji Naik: Dilema Istita'ah Kontemporer
Ibadah haji adalah kewajiban bagi yang mampu (Istita'ah). Dalam praktiknya, jamaah sering menghadapi dilema besar: biaya haji yang telah ditabung bertahun-tahun tiba-tiba naik karena fluktuasi mata uang atau penyesuaian regulasi. Pertanyaannya, bagaimana Hukum Fiqih Berutang untuk Biaya Haji Naik? Apakah berutang, meskipun tanpa riba, tetap memenuhi syarat Istita'ah?
Artikel ini akan meninjau pandangan Fiqih terhadap utang dalam konteks biaya haji dan kapan utang tersebut membatalkan syarat kemampuan.

Konsep Istita'ah (Kemampuan) dalam Fiqih Haji
Istita'ah adalah syarat wajib haji. Ia mencakup kemampuan fisik, keamanan, dan yang paling penting, finansial.
1.1. Definisi Istita'ah Finansial
Secara umum, Istita'ah finansial berarti memiliki biaya yang cukup untuk perjalanan pergi-pulang haji tanpa mengganggu nafkah wajib bagi keluarga yang ditinggalkan, dan melunasi semua utang jatuh tempo.
-
Fokus Fiqih: Seseorang tidak wajib berhaji jika hartanya terikat utang yang harus segera dilunasi. (Penjelasan Syarat Istita'ah Haji dalam Fiqih Syafi'i).
1.2. Hukum Fiqih Berutang untuk Biaya Haji Naik dan Pandangan Ulama
Mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang tidak wajib berutang untuk melaksanakan haji. Namun, jika ia berutang (pinjaman halal non-riba) dan mampu melunasinya tanpa mengganggu nafkah wajib keluarga, maka syarat Istita'ah dapat terpenuhi.
-
Utang Dianjurkan: Jika utang tersebut bersumber dari pinjaman kebajikan (qardh hasan) dari kerabat, dan pelunasannya tidak memberatkan di masa depan. (Fatwa Kontemporer tentang Berutang untuk Ibadah Haji).
Utang untuk Menutup Selisih Biaya yang Naik
Ini adalah masalah kontemporer yang spesifik: jamaah sudah mendaftar dan menabung, tetapi kekurangan dana di saat pelunasan.
2.1. Utang untuk Menambah Biaya (Bukan Seluruh Biaya)
Jika kekurangan dana hanya sedikit (selisih kenaikan) dan utang yang diambil dapat dilunasi dengan mudah dari penghasilan rutin setelah pulang haji, maka Hukum Fiqih Berutang untuk Biaya Haji Naik cenderung dibolehkan, bahkan mungkin dianjurkan oleh sebagian ulama jika ia sangat ingin segera berhaji.
-
Syarat Mutlak: Utang tersebut harus pasti mampu dilunasi dan tidak boleh mengandung unsur riba sedikit pun.
2.2. Hukum Meminta Sumbangan atau Talangan
Meminta bantuan finansial (hibah) dari kerabat atau talangan dana tanpa bunga dari lembaga, lebih utama daripada berutang kepada pihak ketiga. Dalam hal ini, Istita'ah Anda didukung oleh orang lain, dan ibadah Anda tetap sah.
-
Prioritas: Carilah pinjaman qardh hasan (pinjaman kebajikan) sebelum berutang kepada lembaga. (Perbedaan Akad Qardh Hasan dan Murabahah).
Implikasi Fiqih dan Kesiapan Pelunasan
Aspek terpenting dari Hukum Fiqih Berutang untuk Biaya Haji Naik adalah dampak pelunasan setelah kembali.
3.1. Utang yang Menghilangkan Istita'ah
Utang dianggap membatalkan Istita'ah jika:
-
Utang tersebut jatuh tempo sebelum atau saat keberangkatan haji.
-
Total utang dan cicilan pasca-haji terlalu besar sehingga mengganggu kebutuhan primer dan nafkah wajib keluarga (menimbulkan dharar).
-
Utang tersebut mengandung riba.
-
Nasihat Ulama: Jika berutang akan menyebabkan kesulitan besar di masa depan, lebih baik menunda haji dan melunasi utang tersebut terlebih dahulu. (Nasihat Fiqih Menunda Haji Karena Beban Utang).
3.2. Wajib Meminta Izin Kreditur
Jika Anda memiliki utang yang sudah ada (misalnya KPR atau utang lain) dan berencana berhaji, Fiqih mewajibkan Anda untuk meminta izin dari kreditur. Jika kreditur mengizinkan Anda berhaji (karena keyakinan Anda mampu melunasi), maka utang tersebut tidak membatalkan Istita'ah.
-
Etika: Jujurlah kepada kreditur tentang rencana Anda dan pastikan mereka ridha. (Syarat Ridha Kreditur dalam Ibadah Haji).
Prioritaskan Kewajiban atas Sunnah
Hukum Fiqih Berutang untuk Biaya Haji Naik dapat dibolehkan asalkan utang tersebut halal (non-riba) dan mampu dilunasi tanpa mengorbankan kewajiban yang lebih utama (nafkah keluarga dan pelunasan utang lain). Inti dari Istita'ah adalah tidak memberatkan diri dan orang lain. Haji yang mabrur dimulai dari harta yang thayyib.
